Archive for the ‘makalah kuliah’ Category

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

24 Maret 2010

PERAN PENDIDIKAN KELUARGA
DALAM MEMBENTUK KHAIRA UMMAH

A. PERAN PENDIDIKAN KELUARGA
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki,esensial, enak dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing anggotanya. (Ki Hajar Dewantara)
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.(Menurut Salvicion dan Ara Celis). Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga adalah : – Unit terkecil dari masyarakat – Terdiri atas 2 orang atau lebih – Adanya ikatan perkawinan atau pertalian darah – Hidup dalam satu rumah tangga – Di bawah asuhan seseorang kepala rumah tangga – Berinteraksi diantara sesama anggota keluarga – Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing – Diciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan.

2. Peran, Tugas dan Fungsi Keluarga
a. Peranan dan tugas masing-masing individu dalam keluarga
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut : 1. Peranan Ayah : Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. 2. Peranan Ibu : Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. 3. Peran Anak : Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Tugas-tugas Keluarga Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut : 1. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya. 2. Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga. 3. Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing. 4. Sosialisasi antar anggota keluarga. 5. Pengaturan jumlah anggota keluarga. 6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga. 7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas. 8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.
b. Fungsi keluarga
Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga, sebagai berikut :
1) Fungsi Pendidikan. Dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa.
2) Fungsi Sosialisasi anak. Tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3) Fungsi Perlindungan. Tugas keluarga dalam hal ini adalah melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4) Fungsi Perasaan. Tugas keluarga dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5) Fungsi Religius. Tugas keluarga dalam fungsi ini adalah memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan keyakinan bahwa ada keyakinan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
6) Fungsi Ekonomis. Tugas kepala keluarga dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk mencari penghasilan, mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7) Fungsi Rekreatif. Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dsb.
8) Fungsi Biologis. Tugas keluarga yang utama dalam hal ini adalah untuk meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
9) Memberikan kasih sayang,perhatian,dan rasa aman diaantara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.

3. Pendidikan Keluarga Menurut Islam
Hubungan antar individu dalam lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kejiwaan anak dan dampaknya akan terlihat sampai kelak ketika ia menginjak usia dewasa. Suasana yang penuh kasih sayang dan kondusif bagi pengembangan intelektual yang berhasil dibangun dalam sebuah keluarga akan membuat seorang anak mampu beradaptasi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya dan dengan masyarakat sekitarnya.
Oleh karena itu, dalam proses pembentukan sebuah keluarga diperlukan adanya sebuah program pendidikan yang terpadu dan terarah. Program pendidikan dalam keluarga ini harus pula mampu memberikan deskripsi kerja yang jelas bagi tiap individu dalam keluarga sehingga masing-masing dapat melakukan peran yang berkesinambungan demi terciptanya sebuah lingkungan keluarga yang kondusif untuk mendidik anak secara maksimal.
Dalam bagian pertama akan kami paparkan beberapa faktor yang signifikan dalam garis-garis besar pendidikan keluarga menurut ajaran Islam, yaitu sebagai berikut.
a. Hubungan Kasih Sayang
Salah satu kewajiban orang tua adalah menanamkan kasih sayang, ketenteraman, dan ketenangan di dalam rumah. Allah SWT berfirman yang artinya: Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Ia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tentram dengan mereka. Dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang.[2]
Hubungan antara suami dan isteri atau kedua orang tua adalah hubungan kasih sayang. Hubungan ini dapat menciptakan ketenteraman hati, ketenangan pikiran, kebahagiaan jiwa, dan kesenangan jasmaniah. Hubungan kasih sayang ini dapat memperkuat rasa kebersamaan antaranggota keluarga, kekokohan pondasi keluarga, dan menjaga keutuhannya. Cinta dan kasih sayang dapat menciptakan rasa saling menghormati dan saling bekerja sama, bahu-membahu dalam menyelesaikan setiap problem yang datang menghadang perjalanan kehidupan mereka. Hal ini sangat berperan dalam menciptakan keseimbangan mental anak. Dr Spock berpendapat sebagai berikut.
“Keseimbangan mental anak sangat dipengaruhi oleh keakraban hubungan kedua orang tuanya dan kebersamaan mereka dalam menyelesaikan setiap masalah kehidupan yang mereka hadapi”.
Suami isteri harus berusaha memperkuat tali kasih di antara diri mereka berdua dalam semua periode kehidupan mereka, baik sebelum masa kelahiran anak mereka maupun setelahnya.
Memperkuat rasa cinta dan kasih sayang merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Karena itu, menjaga keutuhan kasih sayang termasuk dalam perintah Allah dan merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada-Nya.
Imam Ali bin Al-Husain Zainal Abidin a.s. mengatakan, yang artinya: Hak wanita yang engkau nikahi adalah engkau harus tahu bahwa Allah telah menjadikannya sebagai sumber ketenangan dan ketentraman bagimu serta sebagai penjaga harta dan kehormatanmu. Kalian berdua haruslah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah atas anugerah yang Dia berikan berupa pasangan kalian. Engkau harus tahu bahwa itu semua adalah nikmat Allah atasmu. Karena itu, suami harus memperlakukan isterinya dengan baik, menghormatinya, dan berlemah-lembut terhadapnya, meskipun hak-haknya atas sang isteri lebih besar.Isteri harus menaati suaminya jika ia memerintahkan sesuatu, selama tidak berupa maksiat kepada Allah.
Isteri berhak untuk mendapatkan kasih sayang dan kelemah-lembutan karena dialah yang memberikan ketenangan hati bagi suami. Isterilah yang dapat memuaskan kebutuhan biologis suami yang memang harus disalurkan, dan hal itu adalah sesuatu yang agung.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAWW bersabda, Artinya: Lelaki terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap isterinya. Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteri.[5]
Anjuran-anjuran dan arahan yang diberikan oleh Nabi SAWW dan Ahlul Bait a.s. mengenai sikap baik dan penghormatan terhadap istri ini merupakan acuan penting yang harus diterapkan dalam rangka menciptakan kelanggengan hubungan cinta dan kasih sayang antara keduanya di dalam keluarga.
Di lain pihak, Ahlul Bait a.s. juga berpesan kepada kaum wanita untuk melakukan segala hal yang dapat menumbuhkan dan menjaga cinta dan kasih sayang dalam rumah tangga. Rasulullah Muhammad SAWW dalam hal ini bersabda, Artinya: Jika seorang wanita telah melakukan kewajibannya shalat lima waktu, berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, maka ia berhak untuk masuk ke dalam surga melalui pintu manapun yang ia sukai.[9]
Selain itu beliau juga bersabda, Artinya: Setelah nikmat Islam, tak ada satupun nikmat yang melebihi isteri muslimah yang shalihah, yaitu isteri yang membuat suami senang saat memandangnya, patuh padanya saat ia menyuruhnya melakukan sesuatu, dan menjaga dirinya dan harta suaminya di saat sang suami tidak berada di rumah.[10]

b. Menjaga Hak dan Kewajiban
Di dalam konsep keluarga Islami telah ditentukan hak-hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak suami dan isteri. Konsep ini jika benar-benar dijalankan akan menjamin ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga. Jika suami dan isteri konsisten dengan kewajiban dan hak-hak mereka, hal itu akan dapat mempererat tali cinta dan kasih antara mereka. Selain itu, hal ini dapat menjauhkan segala kemungkinan timbulnya perselisihan dan pertengkaran yang mengancam keutuhan rumah tangga yang dengan sendirinya berdampak negatif pada kejiwaan anak.
Dalam hadis yang lain beliau bersabda, Artinya: Hak isteri atas suami adalah bahwa suami harus memberinya makan, menutupi auratnya, dan tidak memakinya. Jika seorang lelaki telah melakukan kewajibannya ini berarti ia telah menunaikan hak Allah atasnya. [23]
Baik suami maupun isteri harus saling memperhatikan dan menghormati hak pasangannya demi terciptanya suasana cinta dan kasih sayang dan keharmonisan dalam keluarga. Adanya sikap saling menghormati di antara keduanya akan mendorong masing-masing pihak untuk menunaikan semua hal yang menjadi kewajibannya demi kebahagiaan keluarga.
Kebahagiaan yang berhasil diciptakan akan menciptakan keseimbangan mental isteri selama masa kehamilan, menyusui, serta pada tahun-tahun awal umur anak, yang pada gilirannya akan sangat mempengaruhi keseimbangan dan kestabilan mental anak. Anak yang tumbuh dengan mental yang baik dan stabil, pikiran dan perilakunya akan berkembang dengan baik dan stabil pula serta akan dengan mudah menuruti semua anjuran dan nasehat diberikan kepadanya.

c. Menghindari Perselisihan
Pertengkaran dan perselisihan yang terjadi dalam keluarga akan menyebabkan suasana yang panas dan tegang yang dapat mengancam keutuhan dan kehar-monisan rumah tangga. Tidak jarang, pertengkaran itu berakhir dengan perceraian dan kehancuran keluarga. Fenomena ini merupakan salah satu hal yang paling dikhawatirkan oleh semua anggota keluarga, termasuk di dalamnya anak-anak. Suasana yang menegangkan dalam rumah sangat berdampak negatif terhadap perkembangan dan pembentukan jati diri anak.
Kelabilan sikap dan penyakit-penyakit kejiwaan yang diderita oleh anak-anak belia dan orang dewasa, disebabkan oleh perlakuan tidak benar yang diperlihatkan oleh orang tua mereka, seperti pertengkaran yang menyebabkan suasana dalam rumah panas dan menegangkan. Hal seperti itu membuat anak tidak merasa aman berada di dalam rumah
Profesor Richard Fougen berpendapat bahwa,
“Ibu yang tidak diperlakukan dengan layak sebagai seorang manusia, sebagai ibu bagi anak-anaknya, dan sebagai isteri bagi suaminya, tidak akan mampu memberikan rasa aman pada diri anak-anaknya”.
Perasaan aman dan tenang merupakan salah satu faktor terpenting dalam membangun kepribadian anak secara benar dan sempurna. Perasaan semacam ini tidak akan didapatkan dalam lingkungan yang selalu diliputi oleh ketegangan dan pertengkaran. Dalam keadaan seperti itu, anak akan berada dalam kebingungan dan kebimbangan. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Posisinya tidak memungkinkan baginya untuk menyelesaikan pertengkaran kedua orang tuanya, apalagi jika pertengkaran tersebut sampai menggunakan kekerasan. Di satu sisi, ia tidak mungkin akan berpihak pada salah satu dari orang tuanya.
Lebih dari itu, kebingungan anak akan memuncak kala masing-masing pihak yang berselisih berusaha untuk menarik dukungannya dengan menyebutkan bahwa pihaknyalah yang benar, sedangkan lawannyalah yang bersalah dan memulai menyulut api pertengkaran ini. Semua itu meninggalkan kesan negatif di hati, pikiran, dan perasaan si anak.
Dr Spock berpendapat sebagai berikut.
“Riset yang dilakukan oleh para ahli terhadap ribuan anak yang tumbuh besar di tengah-tengah keluarga yang selalu diliputi oleh ketegangan membuktikan bahwa mereka ketika menginjak usia dewasa akan merasa bahwa mereka tidak seperti orang-orang lain pada umumnya. Mereka kehilangan rasa percaya diri. Mereka pun takut untuk menjalin hubungan cinta yang sehat dengan orang lain, karena mereka selalu membayangkan bahwa membangun keluarga berarti menempatkan dirinya di suatu tempat yang dihuni oleh orang-orang yang selalu berselisih dan bertengkar satu dengan yang lainnya”.
Setiap keluarga memiliki masalah yang berpotensi memicu percekcokan di antara mereka. Cara melampiaskan kekesalan dan kemarahan masing-masing pun berbeda. Sebagian orang terbiasa untuk menggunakan kata-kata kotor, makian, dan hinaan. Sebagian yang lain terbiasa untuk melayangkan tangan ketika amarahnya memuncak.
Saat menyaksikan adegan demikian, anak-anak akan belajar untuk mempraktekkannya ketika terlibat pertengkaran dengan kawan-kawannya. Hal itu akan mempengaruhi tingkah laku mereka saat kanak-kanak maupun saat menginjak usia dewasa nanti. Karena itulah kita banyak menyaksikan ataupun mendengar adanya anak yang sampai memaki ibunya atau bahkan memukulnya. Dan terkadang pula, si anak akan menggunakan apa yang ia pelajari itu terhadap isterinya ketika kelak menginjak usia dewasa.

d. Keterpaduan Program Pendidikan untuk Anak
Menurut perspektif Islam, pendidikan kanak-kanak ialah proses mendidik, mengasuh dan melatih rohani dan jasmani mereka berteraskan nilai-nilai baik yang bersumberkan Al-Quran, Hadis dan pendapat serta pengalaman para ulama. Ia bertujuan melahirkan ” Insan Rabbani” yang beriman, bertakwa dan beramal soleh.
Falsafah pendidikan sebenarnya menekankan aspek rohani dan jasmani, sesuai dengan kejadian manusia itu sendiri yaang terdiri daripada roh dan jasad. Ianya melibatkan beberapa peringkat, bermula dari dalam kandungan sehinggalah ia lahir dan menjadi dewasa.
Pertama, mari kita lihat bagaimana Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi kita dalam mendidik anak agar tumbuh menjadi ummat-ummat terbaik.
1) Pendidikan Anak Berdasarkan Tafsir Surat Lukman (31) ayat 13-19

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ& وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ& يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي الأِرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ& يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ &وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ& وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ[
Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Kami memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya; pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Luqman berkata, “Anakku, sesungguhnya jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (balasannya). Sesungguhnya Allah Mahalalus lagi Mahatahu. Anakku, dirikanlah shalat, suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munggkar, serta bersabarlah atas apa saja yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS Luqman [31]: 13-19).

Tafsir Ayat
Rangkaian beberapa ayat di atas berbicara tentang nasihat Luqman kepada putranya yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik (ayat 13). Imam ash Shobuni1 menafsirkan lâ tusyrik billâh dengan menyatakan, “Jadilah orang yang berakal; jangan mempersekutukan Allah dengan apa pun, apakah itu manusia, patung, ataupun anak.” Beliau menafsirkan inna asy-syirka lazhulm[un] ‘azhîm dengan menyatakan, “Perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan tindak kezhaliman yang nyata. Karena itu, siapa saja yang menyerupakan antara Khalik dengan makhluk, tanpa ragu-ragu, orang tersebut bisa dipastikan masuk ke dalam golongan manusia yang paling bodoh. Sebab, perbuatan syirik menjauhkan seseorang dari akal sehat dan hikmah sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat zalim; bahkan pantas disetarakan dengan binatang.”
Sementara itu, Ibn Abbas2 menafsirkan lazhulm[un] ‘azhîm sebagai dosa besar yang kelak akan mendapatkan sanksi dari Allah.
Dua ayat berikutnya (14 dan 15) menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pemeliharaan keduanya, terutama ibu. Dia telah mengandungnya sejak janin di dalam kandungan; setiap bertambah usia dan besar janin, semakin bertambah lemahlah dia dan semakin bertambah sulit pula (untuk bergerak). Demikian pula ketika melahirkan, seorang ibu dengan susah-payah mengeluarkan bayinya dari rahimnya.
Setelah itu, ibu menyusui bayinya selama dua tahun. Ibn Jaza3 menafsirkan: Ungkapan hamalathu ummuhu wahn[an] ‘alâ wahnin wa fishâluhu fî ‘âmayni adalah untuk menjelaskan bahwa hak ibu lebih besar daripada bapak. Akan tetapi, rasa syukur kepada Allah harus di atas segalanya. Sebab, kepada-Nya- lah tempat kembali seseorang, termasuk kedua orangtuanya. Allah-lah yang memberi balasan yang baik kepada orang yang berbuat baik dan balasan yang buruk kepada orang yang berbuat buruk. Karena itu, sekalipun keduanya telah bersusah-payah memeliharamu, kalau mereka mengajakmu pada kekufuran dan perbuatan syirik, janganlah kamu mengikutinya, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Hanya saja, sekalipun demikian, engkau tetap menggauli mereka dengan baik serta senantiasa berlaku sopan dan hormat kepada mereka.
Yang harus diikuti adalah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku dengan iman (tauhid), taat, dan amal shalih. Tempat kembali semua makhluk adalah Allah. Allahlah yang membalas segala perbuatan hamba-Nya. Kemudian, di akhir ayat dijelaskan tentang keluasan dan kelengkapan ilmu Allah sehingga Dia mengetahui apa saja yang telah dilakukan hamba-Nya. Penggambaran yang demikian membangkitkan wijdan (naluri beragama) yang ada pada diri manusia.
Ayat berikutnya (16, 17, 18, dan 19) kembali mengungkapkan nasihat Luqman kepada putranya. Luqman mengajarkan kepada putranya bahwa jika ada perbuatan (dosa dan maksiat) walau seberat dan sekecil biji sawi pun dan berada di tempat yang tersembunyi—di dalam batu, di langit, atau di bumi—kelak Allah akan mendatangkan balasannya pada Hari Kiamat. Sebab, Allah Mahahalus dan Mahatahu. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, bagaimanapun kecilnya, sehingga seekor semut yang melata di malam yang gelap-gulita pun tidak akan luput dari pengetahuan-Nya.4
Selanjutnya, Luqman mengajarkan kepada putranya tentang kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan kepada Allah. Kewajiban pertama: mendirikan shalat. Ibnu Katsir5 menafsirkan aqim ash- shalah dengan melaksanakannya tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat, dan rukun-rukunnya. Sedangkan ash-Shabuni menambahkan, yaitu dengan memelihara kekhusyukannya. Kewajiban kedua: amar makruf nahi mungkar, yakni memerintahkan kepada manusia untuk melakukan setiap kebaikan dan keutamaan serta melarang mereka dari setiap perbuatan buruk. Kewajiban ketiga: bersabar, yakni bersabar terhadap gangguan, rintangan, ujian, bahaya, dan bencana yang menimpa karena menjalankan amar makruf nahi mungkar. Ibn Abbas berkata, “Di antara hakakat iman adalah bersabar.”
Setelah pelaksanaan kewajiban, pengajaran Luqman yang berikutnya berupa larangan berakhlak buruk, yakni larangan berpaling dari manusia karena sombong dan menganggap rendah yang lain, serta larangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sebab, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Tentang sifat sombong yang tercela tersebut, Allah berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 37:
]وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولاً[
Janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan tidak akan dapat sampai setinggi gunung.(QS al-Isra’ [17]: 37).
Pengajaran selanjutnya adalah perintah berakhlak baik, yakni sederhana dalam berjalan; tidak terlampau cepat dan terburu-buru; tidak juga terlampau lambat dan bermalas-malasan; kemudian melunakkan suara (bila berbicara), tidak berteriak-teriak tanpa ada perlu, karena seburuk-buruk suara adalah suara kedelai. Al-Hasan6 berkata, “Dulu orang-orang musyrik membanggakan dirinya dengan bersuara tinggi.”
Qatadah7 berkata, “Seburuk-buruk suara adalah suara kedelai.”

Ibrah
Pelajaran yang bisa diambil dari rangkaian ayat di atas mencakup dua hal. Pertama, pelajaran bagi orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Kedua, pelajaran kepada seorang anak dalam berbakti kepada orangtua.
• Pelajaran bagi orang tua.
Pelajaran awal dan dasar yang harus ditanamkan oleh orangtua kepada anaknya adalah akidah. Di antaranya, pemahaman agar tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun, karena perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan merupakan tindak kezaliman yang nyata, bahkan termasuk dosa besar yang kelak pelakunya akan di azab oleh Allah pada Hari Kiamat. Hal ini seiring dengan sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.8
Bacakanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. (HR al-Hakim).
Berdasarkan hadis di atas, kalimat tauhid (Lâ ilâha illâ Allâh) merupakan sesuatu yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak dan kalimat pertama yang dipahami anak. Hal ini seiring pula dengan anjuran azan di telinga kanan anak dan iqamah di telinga kirinya sesaat setelah kelahirannya di dunia ini.
Upaya menanamkan kalimat tauhid kepada anak dapat ditempuh dengan berbagai cara dan wasilah. Di antaranya mendengar, mengucapkan, dan menghapalkan kalimat-kalimat tauhid, ayat-ayat al-Quran, serta al-Hadis yang terkait dengannya; kemudian memahamkan maknanya serta menjelaskan berbagai jenis perbuatan syirik yang pernah dilakukan manusia, khususnya yang terjadi saat ini; selanjutnya menceritakan berbagai azab yang ditimpakan Allah kepada umat-umat terdahulu akibat perbuatan syirik mereka.
Penggunaan cara dan wasilah hendaknya disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak. Hendaknya memilih cara yang memudahkan anak untuk mengingat dan memahami pelajaran yang hendak diberikan serta memilih wasilah yang disukai anak-anak agar mereka tidak merasa terpaksa menerima suatu pengajaran yang diberikan. Dengan begitu, pembelajaran akidah tauhid ini berjalan dengan lancar dan anak tidak merasa dibebani sesuatu. Contohnya adalah dengan cara memperdengarkan nyanyian yang di dalamnya terkandung pemahaman tauhid, membacakan ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw. yang menjelaskan pemahaman tauhid, serta mengajak anak untuk sama-sama melafalkannya bila anak sudah mampu berbicara. Oleh karena itu, menanamkan tauhid kepada anak tidak harus dalam suasana belajar, bisa dilakukan kapan saja; pada saat anak bermain, makan, ataupun ketika menidurkannya. Dengan demikian, para orangtua sangat dibutuhkan perannya untuk menanamkan pemahaman tauhid ini di sepanjang hari-hari dan aktivitas anak.
Pemahaman akidah berikutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada kita. Rasa syukur kepada Allah harus didahulukan dari rasa syukur kepada manusia, termasuk kepada kedua orangtua. Artinya, sekalipun orangtua sangat berjasa dalam memelihara dan mengasuh kita sejak dalam kandungan, rasa syukur kepada mereka tidak boleh mendahului rasa syukur kepada Allah. Sebab, tempat kembali semua makhluk hanyalah kepada Allah.
Upaya menancapkan rasa syukur kepada Allah bisa dilakukan dengan mengajak anak mengamati dan memikirkan karunia Allah yang diperoleh si anak, keluarganya, serta lingkungan sekitarnya. Di mulai dari hal yang paling sederhana dan mudah diamati sampai hal-hal yang membutuhkan pengamatan cermat.
Selanjutnya adalah menanamkan pemahaman tentang sifat-sifat Allah. Di antaranya Allah Mahakaya, Maha Terpuji, Mahatahu, dan Mahahalus; juga sifat-sifat lainnya yang tergolong dalam Asmâ’ al-Husnâ. Keyakinan terhadap sifat-sifat Allah akan menjadikan anak memiliki dorongan yang kuat untuk menaati segala perintah Allah.
Kekuatan akidah merupakan landasan untuk menaati semua perintah Allah berupa taklif hukum yang harus dijalankan sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu, perlu motivasi yang kuat, ketekunan yang sungguh-sungguh, serta kreativitas yang tinggi dari para orangtua terhadap upaya penanaman akidah yang kuat kepada anak. Dalam hal ini, harus ada penyesuaian bahasa (yang bisa dimengerti) anak, daya pikir (yang bisa dijangkau) anak, serta usia anak.
Gambaran ideal sosok seorang anak yang sangat taat kepada Allah adalah Nabi Ismail. Beliau di usia kira-kira 13 tahun9 rela disembelih ayahnya (Nabi Ibrahim) ketika ayahnya mengatakan bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran surat ash-Shaffat ayat 102. Kisah Nabi Ibrahim dan anaknya juga memberikan gambaran kepada kita tentang keinginan yang kuat dari seorang ayah untuk memiliki seorang anak yang shalih sehingga beliau berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak yang shalih. Hal ini termaktub dalam al-Quran surat ash-Shaffat ayat 100.
Setelah penanaman akidah, pembelajaran berikutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah pelaksanaan berbagai taklif hukum. Di antaranya adalah shalat dan amar makruf nahi mungkar. Kewajiban pertama yang diajarkan dan diperintahkan kepada anak adalah kewajiban shalat, karena shalat merupakan tiang agama dan amal pertama yang akan dihisab pada Hari Kiamat nanti. Pada usia 7 tahun anak sudah harus diperintahkan menjalankan ibadah shalat, bahkan kalau sampai usia 10 tahun anak masih meninggalkan shalat, diperintahkan kepada orangtua untuk memukulnya. Al-Hakim dan Abu Dawud menuturkan riwayat dari Ibn Amr bin al -‘Ash. Disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Ajarilah anak kalian shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia (jika tidak mau melaksanakannya) jika melewati usia sepuluh tahun. (HR ad-Darimi).
Perintah shalat ini dapat kita samakan dengan pelaksanaan kewajiban lain yang mampu dilaksanakan oleh anak seperti shaum, menutup aurat, amar makruf nahi mungkar, dan lain-lain; termasuk pergaulan antara laki-laki dan perempuan harus sudah terpisah pada saat usia mereka sepuluh tahun.
Berdasarkan hadis di atas, dapat digali pemahaman bahwa anak sudah seharusnya dilatih menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim sejak usia 7 tahun. Anak diberi sanksi bila meninggalkan kewajiban-kewajibannya pada saat usianya sudah mencapai 10 tahun. Hal ini berarti masa pembiasaan anak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, selama 3 tahun, sejak usia tujuh tahun sampai 10 tahun. Sedangkan usia 10 tahun sampai menjelang balig bisa dikatakan masa pemantapan, karena si anak tidak boleh lagi meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, seorang anak sudah dipersiapkan sejak awal agar pada usia balig siap menjalankan semua taklif yang dibebankan Allah kepadanya.
Pembelajaran selanjutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah akhlak mulia, yakni sifat-sifat mulia yang harus menghiasi kepribadian anak. Di antaranya sabar (atas segala ujian dan cobaan), tidak berlaku sombong terhadap sesama manusia, tidak bersikap angkuh, sederhana dalam berjalan, dan lunak dalam bersuara.
Penanaman sifat-sifat mulia ini tidak akan sulit bila seiring dengan proses anak dalam melatih ketaatannya terhadap perintah Allah, yakni melalui pembiasaan anak menjalankan berbagai perintah Allah yang menjadi kewajibannya kelak. Sebab, sifat-sifat mulia tersebut merupakan buah dari pelaksanaan syariat Allah.
Ada satu hal yang sangat penting didapatkan si anak dalam proses pembelajarannya menjalankan berbagai kewajiban serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia, yakni keteladanan dari para orangtua maupun pendidik. Inilah yang saat ini jarang dan sulit didapatkan si anak. Bahkan, tidak jarang si anak melihat sesuatu yang bertentangan dengan pemahaman yang sedang ditanamkan kepadanya dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya, termasuk orangtua maupun para pendidik. Padahal, sudah merupakan tabiat manusia membutuhkan teladan, karena manusia lebih mudah menerima dan memahami apa yang dilihat dan dirasakannya daripada apa yang didengarnya. Karena itulah, kepada manusia diturunkan seorang Rasul di setiap generasi dari kalangannya sendiri (manusia juga), untuk mengajarkan dan mencontohkan pelaksanaan ajaran-Nya.
Oleh karena itu, para orangtua hendaklah mempersiapkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan si anak agar proses pembelajarannya bisa berjalan efektif. Janganlah membiarkan lingkungan anak, khususnya lingkungan rumah, merobohkan bangunan kepribadian anak yang sedang dibangun, karena ini sangat berbahaya bagi perkembangan si anak untuk berproses menjadi anak yang shalih.
Apabila para orangtua dan para pendidik di era sekarang mendidik anak sejak awal dengan mengikuti proses seperti yang diuraikan di atas, tidak mustahil akan terwujud generasi baru seperti Nabi Ismail, yakni generasi yang taat kepada Allah; generasi yang rela mengorbankan nyawanya dalam rangka menjalankan perintah Allah. Bila generasi muda kaum Muslim berkualitas seperti ini, kemenangan dan kejayaan Islam, insya Allah, akan berada dalam genggaman.
• Pelajaran bagi Anak
Allah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pengorbanan keduanya dalam memelihara dan mengasuh si anak sejak dalam kandungan. Demikian pula pengorbanan ketika menyusui si anak selama dua tahun, terutama sang ibu. Karena itu, sekalipun kedua orangtuanya kafir, seorang anak tetap harus berbuat baik kepada keduanya. Hanya saja, seorang anak tidak boleh menaati keduanya dalam hal-hal yang melanggar perintah Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah.

2) Fase-Fase Mendidik Anak
a. Membentuk Dunia Kanak-kanak.
Sebelum anak-anak dilahirkan, ibubapa menyediakan tempat yang sesuai untuk membesarkan anak dengan sebaik-baiknya. Ini bermakna dunia kanak-kanak setelah dilahirkan ialah rumah ibubapa itu sendiri. Untuk mencapai kesempurnaan hidup kanak-kanak, ibu-bapa perlu membentuk suasana harmoni dan bercirikan keislaman dalam kehidupan rumahtangga terlebih dahulu.
Jika pasangan suami isteri menghayati nilai-nilai keislaman dalam kehidupan rumahtangganya, mudahlah ia mendidik anak-anaknya dengan benih-benih Islam. Sebaliknya, jika pasangan suami isteri gagal menerapkan nilai-nilai Islam dan mengekalkan kerukunan rumahtangga, sukarlah bagi mereka mentarbiyah anak-anak mengikut acuan dan budaya hidup Islam.
Atas itulah Rasulullah S.A.W mengingatkan bakal-bakal suami agar memilih bakal isteri yang mempunyai kesungguhan dan penghayataan agama, bukan kerana paras rupa, keturunan atau harta semata-mata. Sabda Rasulullah yang bermaksud:
“wanita dikahwini kerana empat perkara, iaitu kerana hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah yang beragama kerana ia menguntungkan kamu(lebih utama)”

b. Ketika Anak Dalam Kandungan
Proses pendidikan mula berlaku ketika bayi masih berada dalam kandungan ibunya. Pendidikan pada peringkat ini lebih bercorak kerohanian, iaitu:
1. Bagi ibu-ibu yang mengandung digalakkan supaya memper-banyakkan bacaan Al-Quran terutama surah Yusuf, Mariam, Luqman dan At-Taubah.
2. Ibu hendaklah sentiasa berdoa kepada Allah S.W.T agar anak yang bakal dilahirkan itu nanti menjadi seorang anak yang soleh, berilmu, beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
3. Ibu bapa hendaklah mendapat rezeki daripada sumber yang halal supaya benih yang bakal dilahirkan itu nanti datang daripada darah daging yang halal.
4. Ibu hendaklah makan makanan yang berzat dan sentiasa menjaga kesihatan tubuh badannya. Kebersihan diri hendaklah diutamakan bagi menjamin kesihatan anak-anak dalam kandungan. Faktor kesihatan amat dititik beratkan oleh Islam sehingga Islam memberikan kelonggaran kepada ibu yang mengandung untuk berbuka puasa sekiranya merasakan puasa itu menjejaskan kesihatan diri dan anaknya.
5. Ketika mengandung, ibu perlulah menyesuaikan diri dengan perubahan perubahan yang berlaku kepada dirinya. Pada waktu begini sememangnya keadaan ibu agak berbeza dari waktu – waktu biasa, terutamanya bagi ibu yang bakal melahirkan anak yang pertama. Mungkin selera makannya hilang, perasaan agak terganggu(sensitif) dan hatinya boleh berdebar-debar kerana bayi dalam kandungannya itu adalah sebahagian daripada dirinya. Ketika ini para suami hendaklah lebih memahami keadaan isteri serta memberi dorongan yang kuat kepadanya

c. Setelah Anak Dilahirkan
Setelah anak dilahirkan, hendaklah segera diazankan telinga kanannya dan diiqamatkan telinga kirinya.
Abu Rafi meriwayatkan sebuah hadis yang bermaksud:
” Aku melihat sendiri Rasulullah S.A.W mengazankan Hasan B. Ali pada telinganya ketika ia baru dilahirkan oleh Fatimah r.a” (Riwayat Abu Daud dan Termizi)
Sebagai suapan yang pertama, sunat bayi disuapkan dengan manisan seperti madu dan kurma. Abu Musa Al Asyari r.a. dalam sebuah riwayat mengatakan:
“Isteriku melahirkan seorang anak. Bayi itu ku bawa kepada Rasulullah S.A.W.. Baginda menamakannya Ibrahim, kemudiannya disuap dengan buah kurma(yang telah dilumatkan) setelah itu baginda mendoakan keberkatan baginya lalu bayi itu diserahkan kembali kepadaku”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Pada hari ketujuh kelahirannya, ibu bapa disunatkan bersedekah dengan melakukan ibadah aqiqah untuk anaknya. Seekor kambing bagi anak perempuan dan dua ekor kambing bagi anak lelaki. Rambutnya pula sunat dicukur keseluruhannya supaya kepalanya bersih, otaknya cergas dan rambut barunya tumbuh dengan subur dan sihat.
Sabda Rasulullah S.A.W yang bermaksud:
“Setiap anak yang baru dilahirkan bergantung kepada aqiqahnya. Hendaklah diaqiqahkan dengan menyembelih kambing pada hari ke tujuh, diberi nama pada hari itu dan dicukur kepalanya”. ( Riwayat Abu Daud, Termizi dan Nasa)
Bagi ibu yang menyusukan anak, ia perlu makan makanan yang halal, bersih, dan berzat. Ketika menyusukan anak, hatinya hendaklah selalu mendoakan kejayaan anaknya. Ketika hendak tidur, dodoikan (lagukan) dengan kalimah memuji Allah dan Rasulnya seperti nasyid dan sebagainya.
Apabila anak sudah mulai pandai bercakap, hendaklah membiasakannya dengan percakapan yang baik-baik seperti selawat, zikir dan lain-lain perkataan yang seumpamanya.
d. Umur antara 5 hingga 7 tahun.
Pada peringkat umur antara 5-7 tahun, memerlukan teknik pendidikan yang lebih luas dan menyeluruh. Pengisian antara keperluan rohani dan jasmani perlu didedahkan serentak dan diseimbangkan. Teknik pembelajaran dan pengajaran perlu menggunakan kaedah yang sesuai kerana kanak-kanak biasanya akan belajar(mengikut) berdasarkan pemerhatian iaitu apa yang dilakukan oleh individu disekelilingnya terutama ahli keluarganya.
Menurut pandangan Islam, pada peringkat ini anak-anak wajar didedahkan dengan latihan menulis, membaca, mengira dan berbahasa. Pendidikan yang wajar didedahkan pada peringkat ini ialah bab ibadah dan akhlak. Misalnya kanak-kanak yang baru meningkat umur mumayyiz hendaklah dilatih mendirikan sembahyang. Seterusnya adab-adab yang mulia hendaklah mula diterapkan dalam bentuk latihan amali seperti:
1. Mendidik anak supaya taat dan beradab kepada kedua ibubapanya; timbulkan kesedaran kepada mereka bahawa pengorbanan ibubapa terhadapnya adalah amat besar dan mereka perlu bersyukur kerana menjadi anak yang masih mempunyai kedua ibubapa. Ini dapat mengeratkan hubungan mesra, rasa kasih sayang antara ahli keluarga.
2. Mengajar anak supaya taat dan beradab kepada guru dan orang yang lebih tua daripadanya; guru merupakan orang yang bertanggungjawab mendidik dan menyampaikan ilmu manakala orang yang lebih tua adalah orang yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan daripadanya.
3. Mengajar anak bercakap atau bergaul dengan baik; anak-anak hendaklah dilatih bercakap benar, sopan santun dan mengucapkan perkataan yaang baik-baik. Kanak-kanak biasanya begitu sensitif dengan pendengarannya, ia mudah terikut-ikut dengan apa yang didengarnya. Sebab itu jika ibubapa mahu menegur atau memarahi mereka, hendaklah menggunakan bahasa yang paling sopan bukannya dengan bahasa yang kesat, kasar dan keras.
4. Mengajar anak-anak adab bergaul dengan rakan-rakan; anak-anak harus dinasihatkan agar tidak berbangga atau meninggi diri di hadapan rakan sebayanya, jangan sekali-kali menyakiti atau mengambil hak orang lain .
5. Mengajar anak adab makan minum yang baik; sifat atau sikap yang tidak sopan seperti gelojoh ketika makan hendaklah ditegah, sebaliknya anak-anak dilatih dulu dengan adab-adab makan seperti mencuci tangan, duduk dengan sopan serta berdoa sebelum dan sesudah makan.
6. Mengajar anak adab berpakaian; pakaian yang dipilih hendaklah menutup aurat dan bukan untuk menunjuk-nunjuk kepada orang lain.
7. Mengajar adab dan bangun daripada tidur; sebaiknya hendaklah mengadap qiblat, membersihkan diri sebelum dan selepas bangun daripada tidur.
8. Mengajar anak adab masuk dan keluar tandas, anak-anak perlu diajar cara membuang air kecil/besar dan cara masuk ke dalam tandas seperti membaca doa, menutup kepala,membelakangkan qiblat dan sebagainya.
Anak-anak merupakan amanah Allah yang perlu dididik dengan sebaiknya sejak ia kecil lagi supaya apabila besar kelak menjadi anak yang soleh dan sentiasa taat kepada kedua ibubapanya. Mereka ibarat kain putih dan ibubapa lah yang berperanan mencorak dan melukiskannya dengan warna-warna menarik yang menjadi amalan dan cara hidup Islam.
Keberadaan sebuah program yang jelas dalam menjalani kehidupan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap perilaku seseorang. Jika kita benar-benar yakin pada nilai positif program tersebut dan menjalankannya dengan konsekuen, sebuah karakter positif dalam perilaku kita akan terbentuk.
Suami isteri harus bersepakat untuk menentukan satu program yang dengan jelas menerangkan hak-hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Islam dengan keterpaduan ajaran-ajarannya menawarkan sebuah konsep dalam membangun keluarga muslim.
Konsep Islam adalah sebuah konsep yang secara jelas dan seimbang mendistribusikan tugas-tugas kemanusiaan. Islam tidak pernah memberikan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Konsep ini tidak akan pernah salah, tidak memiliki keterbatasan, dan tidak mungkin mengandung perintah dan tugas yang tidak dapat dilakukan. Penyebabnya tentu saja, karena konseptornya adalah Allah SWT.
Konsep keluarga Islami memberikan prinsip-prinsip dasar yang secara umum menjelaskan hubungan antaranggota keluarga dan tugas mereka masing-masing. Sementara itu, cara pengaplikasian prinsip-prinsip dasar ini bersifat kondisional. Artinya, amat bergantung pada kondisi dan situasi dalam sebuah keluarga dan dapat berubah sesuai dengan keadaan.
Oleh karena itu, kedua orang tua harus bersepakat dalam merumuskan detail pengaplikasian konsep dan program pendidikan yang ingin mereka terapkan sesuai dengan garis-garis besar konsep keluarga Islami. Kesepakatan antara kedua orang tua dalam perumusan ini akan menciptakan keselarasan dalam pola hubungan antara mereka berdua dan antara mereka dengan anak-anak.

4. Contoh Kasus Pendidikan bagi Anak dalam Keluarga Muslim

B. PEMBENTUKAN KHAIRA UMMAH
C. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I

24 Maret 2010

BAB I.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hal paling utama diajarkan di sekolah adalah pelajaran membaca. Jelas maksudnya, agar siswa bisa melangkah kepelajaran-pelajaran berikutnya. Mulai dari belajar membaca huruf, hingga simbol-simbol angka atau simbol lain yang memiliki arti
Membaca merupakan suatu kemampuan untuk memberikan arti dari jejeran huruf-huruf atau simbol-simbol yang tersusun secara harmonis dan logis hingga terpetiklah pesan yang disampaikan melalui tulisan. Lebih lanjut, membaca bisa diartikan sebagai suatu aktivitas memahami, menafsirkan, mengingat, kemudian menuliskannya kembali berdasarkan analisis fikiran sendiri.
Dengan membaca, seseorang dapat membuka wawasan baru. Banyak hal-hal yang akan ditemukan dalam sebuah bacaan. Hal-hal yang belum pernah diketahui, bahkan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Membaca juga dapat memberikan pencerahan baru pada pemikiran seseorang. Selain itu, membaca dapat meningkatkan intelektual, spiritual, emosional, dan kepercayaan diri yang berpadu dengan kerendahan hati. Membaca akan membuka peluang seseorang untuk menyerap ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan. Tidak hanya itu, membaca juga akan menumbuhkan kemampuan seseorang untuk berpikir kreatif, kritis, analitis dan imajinatif. Melalui membaca, seseorang akan mampu berfikir lewat proses menangkap gagasan/informasi, memahami, mengimajinasikan, menerapkan dan mengekspresikannya. Membaca adalah sebuah wisata fikiran. Melalui membaca, seseorang bisa pergi ke mana saja tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Namun tidak semua orang mampu membaca dengan baik. Faktor internal ( faktor dalam diri) seseorang dapat menentukan apakah seseorang itu mampu me mb aca dengan baik atau seeseorang itu mengalami berkesulitan dalam hal membaca. Sulit mengeja, sulit memahami komponen kata atau kalimat adalah contoh berkesulitan membaca. Berkesulitan membaca juga bisa berupa sikap tubuh yang janggal saat membaca. Berkesulitan membaca, berkesulitan menulis dan berkesulitan berhitung adalah tiga hal yang disatukan dalam istilah yang dikenal dengan berkesulitan belajar.
Dalam makalah sederhana ini, Penulis akan mencoba memaparkan kasus/masalah yang dialami oleh anak yang diduga mengalami berkesulitan membaca.

1.2 Rumusan Masalah

1. Siapakah Rani Apriliani itu?
2. Bagaimana kasus/masalah dapat diketahui?
3. Apa kasus/masalah yang ditemukan?

1.3 Tujuan

adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. melaporkan hasil obserbasi yang telah dilaksanakan oleh Penulis.
2. Memaparkan kasus/masalah yang dialami oleh anak yang diobservasi.
3. Memenuhi salahsatu tugas mata kuliah Pendidikan Anak berkesulitan Belajar.

BAB II.
PEMBAHASAN

2.1 Indentitas Anak

Nama : Rani Apriliani
Tempat tanggal lahir : Purwakata, 5 April 1993
Alamat sekarang : Jalan Pajajaran 52 Bandung
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Anak ke : 2 dari dua bersaudara
Jenis kelainan : Tunanetra
Mengalami ketunanetraan sejak : lahir
Bersekolah di : Sekolah Luar Biasa Negri-A Pajajaran
Kelas : 5

2.2 Analisis Masalah

1. Pelaksaan Observasi

Penulis melaksanakan observasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negri-A Pajajaran Bandung tingkat sekolah dasar (SD), yang beralamat di jalan Pajajaran nomor 50 Pajajaran Bandung. Mulai 3 April sampai dengan selesai. Penulis disambut dengan baik oleh pihak sekolah. Setelah mendapatkan izin dari kepala sekolah, kemudian Penulis menemui wali kelas 5 yang bernama ibu Yeni. Berbekal keterangan mengenai Rani Apriliani yang Penulis peroleh dari ibu Yeni yang menyatakan bahwa Rani memiliki kesulitan saat membaca, kesulitan bergaul dengan teman-temannya, merasa takut saat bertemu dengan orang baru, kesulitan saat berorientasi mobilitas dan memiliki kecendrungan untuk merendahkan diri. Akhirnya Penulis menemui Rani di asrama tempat tinggal Rani saat ini. Penulis menemui Rani tidak di sekolah tetapi di asrama karena atas saran dari ibu Yeni. Ibu Yeni berpendapat, “jika Penulis menemui Rani di asrama, Penulis akan lebih tenang dan tidak akan mengganggu waktu belajar Rani yang terbatas di sekolah”. Selain itu, Penulis juga dapat bersentuhan langsung dengan lingkungan sosialnya. Akan tetapi, untuk pertemuan pertama, wali kelas mengizinkan Penulis untuk menemui Rani di kelas. Saat pertama kali bertemu, Rani seolah enggan untuk berjabat tangan. Lalu Ibu Yeni mengizinkan Penulis untuk membawa Rani ke kelas kosong agar Penulis dapat melakukan pendekatan sekaligus mengobservasi Rani. Untuk selanjutnya, Penulis meneruskan observasi di asrama Cempaka yaitu asrama putri Panti Bina Sosial Netra (PSBN) Wyataguna setiap hari Jum’at setelah usai jam sekolah.

2. Hasil Observasi

Pada pertemuan pertama, Penulis mengalami kesulitan saat berkenalan. Rani seakan takut untuk menjawab setiap pertanyaan Penulis yang bertanya tentang identitasnya. Beberapa kali Rani bertanya, “akan diapakan saya, Bu?” Dengan hati-hati dan perlahan, Penulis mencoba menjelaskan bahwa Penulis hanya ingin meminta bantuan kepada Rani. Akhirnya Rani mau untuk terbuka kepada Penulis. Bahkan Rani bercerita tentang satu hal yang diluar dugaan. Rani bercerita mengenai keluarganya. Sejak Rani bayi, Rani tinggal bersama nenek, kakek dan kakak lakilakinya. Ibu Rani melarikan diri dari rumah setelah mengetahui bahwa Rani tunanetra. Lebih lanjut, Rani menceritakan perlakuan teman-teman kepadanya.
Setelah Penulis berperan sebagai pendengar yang baik, akhirnya Rani bisa diajak bekerjasama. Penulis memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta Rani membacakan dua bacaan. Bacaan tersebut berbentuk cerita pendek yang terdiri atas satu paragraf. Bacaan pertama berjudul HADIAH IBU. Sedangkan bacaan kedua berjudul BUAH ANGGUR.

Bacaan pertama:

Hari ini hari Senin, 19 Januari 2009. Tepat 8 tahun yang lalu, aku dilahirkan. Setiap tahun, saat tiba hari ulang tahunku, ibu selalu memberiku ha-diah ulang tahun. Topi, permen kopi, pensil, kertas warna, kelinci, kelereng dan bola adalah hadiah-hadiah yang ibu telah berikan kepadaku. Khusus dihari ulang tahunku yang kedelapan, ibu membuatkanku kue ubi. Kue ubi ibu enak sekali. Aku ingin ibu membuatkan kue ubi untukku setiap hari.

Saat membacakan bacaan pertama ini, Rani terbata-bata mengucapkan kata-kata yang dibacanya. Sikap membacanya tidak wajar. Rani memutar kertas bacaan itu 180 derajat. Rani membaca/meraba huruf-huruf dalam bacaan dengan tangan kiri dan menandai baris yang sudah dibaca dengan tangan kanan. Sikap yang wajar saat membaca suatu bacaan yang disajikan dalam format huruf braille adalah membaca/ meraba dengan tangan kanan dan menandai baris yang sudah dibaca dengan tangan kiri. Kertas atau buku yang dibaca pun tidak diputar 180 derajat seperti yang Rani lakukan. Sikap membaca yang tidak wajar ini pun diulanginya saat Penulis meminta Rani untuk membacakan bacaan kedua yang jauh lebih pendek.

Bacaan kedua:

Rio pergi ke pasar. Ia pergi bersama ibunya. Di pasar, Rio dan ibunya membeli buah-buahan, sayur-sayuran dan daging. Buah-buahan yang mereka beli adalah: Apel, Jeruk, Nangka, Stroberi dan Anggur. Rio suka sekali buah Anggur.
“Buah Anggur lezat sekali!” Katanya.

Bacaan kedua, mengandung beberapa huruf ng yang dibaca dengung (eng) yang dalam huruf braille memiliki simbol tersendiri yaitu titik 1-2-4-5-6. Tujuan Penulis memberikan bacaan kedua adalah untuk mencari tahu apakah Rani mampu membaca simbol huruf ng (eng). Akan tetapi, pada saat observasi, bacaan kedua menjadi memiliki dua fungsi yaitu untuk mengetahui apakah Rani mengenali huruf ng (eng) atau tidak dan untuk mengetahui apakah sikap membaca Rani masih sama dengan ketika Rani membaca bacaan pertama. Dan hasilnya, Rani mengetahui simbol huruf ng (eng), akan tetapi sikap membaca Rani masih sama yaitu memutar kertas bacaan 180 derajat.
Pada pertemuan selanjutnya, Penulis mendikte Rani. Rani diminta menlis apa yang Penulis bacakan. Penulis mendiktekan sebuah cerita pendek. Rani mampu menuliskan dengan baik apa yang Penulis diktekan. Sikap menulisnya pun wajar. Dimulai dari sebelah kanan dan memegang pen (alat untuk menusuk saat menulis braille) dengan tangan kanan dan meraba riglet (alat pencetak huruf braille) dengan tangan kiri.
Bacaan yang didiktekan bisa dibaca pada lembar lampiran.
Kemudian Penulis melanjutkan dengan membacakan sebuah cerita pendek dan Rani diminta untuk mendengarkan lalu menjawab pertanyaan. Hasilnya, Rani mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Itu menjelaskan bahwa Rani mengerti dan memahami cerita pendek yang dibacakan Penulis.
Bacaan yang dibacakan dapat dibaca pada lembar lampiran.
Pada pertemuan berikutnya, Penulis mengetes taktil Rani. Penulis membawa lima lembar kertas kecil yang di permukaannya Penulis lapisi dengan bahan-bahan yang memiliki perbedaan tekstur. Mulai dari yang paling halus sampai dengan yang paling kasar. Pertama, Penulis meminta Rani untuk membedakan tekstur demi tekstur dengan tangan kanan melalui stimulus pertanyaan, “Kok ini lebih kasar daripada ini ya, Ran?” Atau sebaliknya. Dengan pertanyaan seperti itu, Penulis dapat mengetahui alasan-alasan Rani apabila ia menyanggah pertanyaan Penulis atau menyetujui pertanyaan Penulis. Setelah selesai mencoba dengan tangan kanan dan istirahat selama beberapa menit, Penulis meminta Rani untuk membedakan tekstur demi tekstur dengan tangan kiri. Tes ini diberikan untuk mengetahui tangan Rani yang sebelah manakah yang jauh lebih peka. Hasilnya, taktil tangan kiri Rani lebih baik daripada tangan kanannya. Dari lima lembar kertas kecil dengan perbedaan tekstur, Rani dapat menjawab semua stimulus pertanyaan dengan benar saat meraba dengan tangan kirinya. Saat meraba dengan tangan kanannya, Rani hanya dapat mengiyakan apa yang dikatakan Penulis.
Pertemuan selanjutnya, Penulis meminta Rani untuk bergeser ke sebelah kiri atau kanan. Berputar ke kiri atau ke kanan, berjalan ke samping, ke depan atau belakang, berjjalan ke depan lalu belok ke kiri atau ke kanan, dan meminta Rani untuk memposisikan badan seperti berdiri, duduk, jongkok, angkat tangan kiri atau kanan, angkat kaki kiri atau kanan, tengok kiri atau kanan dan terakhir meminta Rani untuk menunjukan arah. Hasilnya, Rani sering sekali tertukar kanan dan kiri. Keseimbangan Rani kurang saat mengangkat kaki, baik kaki kiri atau kaki kanan. Rani ragu-ragu ketika akan mengangkat tangan saat diminta mengangkat tangan. Kebingungan itu tampak dari sikapnya yang mengoceh sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya.
Pada pertemuan terakhir, Rani diminta kembali untuk membaca. Sikap membacanya tidak berubah. Bahkan, saat Rani diminta untuk membaca dengan posisi kertas tidak diputar, Rani tidak mampu membaca satu kata pun. Ia kebingungan.

BAB III.
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

1. Rani Apriliani hanya dapat membaca jika kertas yang dibacanya diputar.
2. Kepekaan jari-jari tangan kiri Rani lebih peka daripada jari-jari tangan kanannya.
3. Keseimbangan tubuh Rani tidak kegitu baik.
4. Rani mengalami kesulitan mengenal arah.
5. Rani Apriliani berkesulitan membaca karena sikap membaca yang tidak wajar. Sikap tidak wajar saat membaca ini kemungkinan karena Rani mengalami kesulitan mengenal arah, presepsi kinestetik yang dihasilkan dari gerak tubuh dan kontraksi otot yang kurang serta taktil yang berhubungan dengan kemampuan membedakan bentuk dan simbol.

3.2 Saran

1. Rani Apriliani sebaiknya dibiasakan membaca dengan sikap membaca yang wajar.
2. Rani sebaiknya banyak berolahraga agar terlatih kontraksi otot dan keseimbangan tubuhnya.
3. Rani sebaiknya banyak berjalan-jalan di wilayah yang terdapat banyak belokan dan diusahakan agar Rani mampu menghafal jalan tersebut.